PEMAHAMAN PARENTING BERDASARKAN PENGALAMAN
Menyelesaikan Pertengkaran tapi Tidak Menyudahi
Saat sudah dewasa dan telah memahami bagaimana sikap seseorang. saya mulai menilai dan mulai berpendapat mengenai cara parenting orang tua saya. Orang tua saya memiliki latar belakang pendidikan sampai sekolah dasar dan memiliki anak pertama saat umur 20 tahun (ibu) dan 25 tahun (ayah). Saya dua bersaudara dan merupakan anak perempuan pertama. Adik saya lahir setelah saya berumur 2 tahun. Sehingga kami memiliki jarak umur yang sangat dekat. Kami pun tumbuh remaja dan dewasa hampir sama karena perbedaan umur yang tak jauh tersebut.
Sebagai saudara, pertengkaran-pertengkaran pun kerap terjadi. Pertengkaran kami tak pernah mempermasalahkan sesuatu yang serius hanya sebatas berebut pakaian, berebut kerudung dan lain sebagainya. Namun tak dipungkiri pertengkaran itu dilakukan secara adu mulut bahkan fisik pun pernah terjadi.
Suatu ketika, terjadi pertengkaran hebat antara kami. Suara teriakan, bentakan, bahkan adu pukul terjadi saat pertengkaran itu. Hingga hal tersebut terdengar dari rumah tetangga. Ibuku yang saat itu berada dirumah tetangga seketika berlari menghampiri kami berdua mencoba untuk melerai. Ibuku sambil melerai berkata ''sudahhh... sudah cukup, malu didengar tetangga''. Dengan iringan isak tangis aku mencoba menjelaskan situasi dengan suara yang lantang. Namun jawaban ibuku tetap sama ''sudah.. sudahh cukup, didengar tetangga gak baik''. Mungkin bagi sebagian orang leraian seperti itu wajar. Tapi apakah kalian merasakan sesuatu yang tak tepat?
Ya, aku mencoba menjelaskan situasi kami, aku mencoba menjelaskan sebab dari pertengkaran kami. tapi ibuku tak menghiraukannya. Lantas apakah pertengkaran selesai?, ya pertengkaran itu selesai tapi tidak ada penyelesaian masalah disini. Poinnya adalah menyelesaikan pertengkaran tapi tidak menyudahi.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya.........
Apakah kami berdamai, masalah selesai dan saling mengucap maaf? salah. Kami tak pernah melakukan itu semua. Pertengkaran tersebut berakhir dengan rasa marah, rasa dendam, dan rasa ketidakadilan bagi orang yang tak bersalah. bahkan saat tulisan ini dibuat rasa benci terhadap pertengkaran itu masih ada dan membekas.
Kita tarik benang merahnya disini. Ibuku tak pernah menjadi penengah diantara kami, tak pernah benar-benar menyelesaikan pertengkaran kami, tak menyuruh yang salah meminta maaf, dan yang lebih parah lagi. Saat saya membicarakan dan membahas mengenai cara menangani pertengkaran waktu itu kepada ibuku, beliau tak pernah mau mengakui kekeliruannya dalam menengahi pertengkaran kami. Merasa telah benar dan tak mau mempertimbangkan pendapat yang telah saya sampaikan.
Dari sini kita dapat belajar bahwa. Mendengarkan anak, mengajari anak untuk meminta maaf jika berbuat salah, dan terbuka atas masukan yang disampaikan anak adalah hal sepele yang efeknya akan berdampak pada anak.
Efeknya dari kejadian tersebut adalah saya dan adik tidak pernah benar-benar akur. Ada dendam dan benci yang terbesit hingga saat ini. Selalu merasa menang sendiri dan tak pernah menaruh rasa hormat terhadap satu sama lain. Lantas siapa yang harus disalahkan?
Komentar
Posting Komentar