Peninggalan Budaya Tak Benda ''Gong Kyai Pradah Lodoyo''


          Gong Kyai Pradah atau Gong Macan merupakan gong peninggalan Pangeran Prabu anak Raja Kertanegara dari Keraton Surokarto yang merupakan anak dari selirnya.  Gong Kyai Pradah dibuat oleh Resi Singo Barong pada zaman Sunan Kalijaga. Gong ini memiliki Lafad Ghoib Dhod, Qof, Kaf yang berlafad huruf arab, kasat mata dan hingga sekarang tidak di ketahui apa maksud dan artinya. Gong ini rutin di mandikan pada tanggal 1 Syawal dan 12 Maulud (bertepatan dengan lahirnya Nabi Muhammad S.A.W). Gong Kyai Pradah telah diakui sebagai Peninggalan budaya tak benda pertama di Indonesia yang di resmikan pada tanggal 18 Januari 2017 di Jakarta. 

Sejarah Gong Kyai Pradah di sebut Gong Macan
            Keraton Surokarto pada tahun 1708 M memiliki raja bernama Raja Kertanegara, Raja Kertanegara ini mempunyai anak bernama Pakubuono I dan memiliki anak dari selir bernama Pangeran Prabu.
            Pada saat pengangkatan raja baru yang akan diangkat menjadi raja adalah Pakubuono I. Pangeran Prabu tidak bisa menjadi raja karena beliau bukan anak asli, melainkan anak selir. Pangeran Prabu merasa iri dan tidak terima dengan hal tersebut, akhirnya beliau mempunyai rencana untuk membunuh Pakubuono I. Namun, rencana tersebut diketahui oleh para prajurit dan sampailah ke telingan Pakubuono I, beliau lalu disidang dan dihukum dengan di usir dari keraton pada tahun 1712 M. Pengusiran Pangeran Prabu hanya diperbolehkan pergi ke arah selatan. Tujuan  pengusiran Pangeran Prabu ke selatan ini adalah karena daerah selatan masih banyak hewan buas dan merupakan hutan belantara sehingga Pakubuono I berharap Pangeran Prabu akan mati dimakan hewan buas. Pangeran Prabu meninggalkan Keraton bersama istrinya bernama Putri Wandan Sari dan bersama prajurit, membawa alat wayang lengkap, patih, dan seorang penasihat bernama Ki Eyang Tariman.
             Beliau mulai berjalan hingga sampailah  ke tanah Ponorogo, dan terus berjalan hingga sampai ke Wonotirto dan berjalan lagi ke Dadapan Lodoyo, disini beliau bertemu dengan seorang perempuan tua yang sudah tidak mempunyai suami dan anak bernama Mbok Mban Potosutro atau yang biasa dipanggil Mbok Rondo Dadapan. Mbok Rondo ini mempunyai rumah kecil  di dalam hutan dan menghinaplah Pangeran Prabu dirumah Mbok Rondo Dadapan.
             Selang beberapa minggu di rumah Mbok Rondo Dadapan, Pangeran Prabu merasa jenuh karena tidak melakukan apa-apa maka berjalanlah beliau yang hanya bersama istrinya ke barat yaitu ke Kademangan, di Kademangan ini beliau mencoba untuk bercocok tanam namun tidak berhasil, lalu melanjutkan perjalanan ke Wonotirto yaitu ke daerah Ngeni, lalu ke timur daerah Binangun, dan ke barat lagi ke Tulungagung bagian selatan. Pada saat sampai di Tulungagung bagian selatan tepatnya di daerah Kalidawir beliau bertemu dengan prajurit Pakubuono I yang memang diutus untuk menyusul Pangeran Prabu ke daerah itu dan melihat apakah Pangeran Prabu masih hidup atau sudah mati. Terjadilah perang antara prajurit Pakubuono I dan Pangeran Prabu, karena saktinya Pangeran Prabu para prajurit pun kalah dan kembali ke Keraton Surokarto. Pangeran Prabu menetap di Kalidawir yaitu di gunung Seung untuk bertapa dan menanti jika ada prajurit lagi yang datang, namun sampai beberapa bulan tidak ada prajurit yang datang lagi. maka kembalilah beliau bersama istrinya ke Lodoyo. Saat tiba di gunung Pandan istrinya melahirkan seorang putra, namun karena kurangnya peralatan medis pada zaman dahulu dan pada saat itu Mbok Rondo juga tidak mendampingi melahirkan, maka putranya tidak bisa diselamatkan dan akhirnya meninggal dunia.
             Lalu kembalilah beliau ke Dadapan, yaitu dirumah Mbok Rondo yang mana di situ ada para prajurit dan penasihatnya Ki Eyang Tariman. Karena beliau ingin melanjutkan perjalanan lagi, maka saat itu beliau berpesan pada Ki Eyang Tariman dan Mbok Rondo Dadapan bahwa ada sebuah pusaka bernama Kyai Pradah. Pusaka tersebut beliau titipkan ke Ki Eyang Tariman dan Mbok Rondo Dadapan untuk selalu dimandikan setiap tanggal 12 Maulud dan 1 Syawal. Dan jika sewaktu- waktu mereka membutuhkan Pangeran Prabu maka Mbok Rondo dan Ki Eyang Tariman di suruh untuk memukul gong tersebut. Pangeran Prabu juga berpesan bahwa air bekas siraman itu bisa digunakan untuk menentramkan Masyarakat, bisa digunakan untuk obat, dan dapat merujukkan suami istri yang berpisah. Berangkatlah Pangeran Prabu dan istrinya ke tanah timur dan sampai ke Panggung Asri dan disana istrinya melahirkan lagi bayi kembar namun tidak ada keterangan apakah bayinya masih hidup atau meninggal, keterangan sementara adalah meninggal. 
              Sepeninggal Pangeran Prabu, Mbok Rondo Dadapan dan Ki Eyang Tariman mendapat masalah yaitu Pagebluk atau banyak orang dan hewan yang mati akibat penyakit menyebar tanpa diketahui penyakitnya. Mereka berusaha mencari cara agar bisa bercocok tanam dan menyembuhkan penyakit, pergilah Mbok Rondo Dadapan dan Ki Eyang Tariman dengan membawa gong ke hutan, saat tiba ditengah hutan mereka bertemu dengan para perampok. Ki Eyang Tariman mengingat pesan Pangeran Prabu jika membutuhkannya di suruh untuk memukul gong, karena takutnya Ki Eyang Tariman terhadap para perampok, maka dipukullah gong tersebut, saat gong di pukul yang datang bukanlah Pangeran Prabu melainkan ratusan macan dan singa. Macan dan singa tersebut tidak melukai Ki Eyang Tariman dan Mbok Rondo malinkan melukai para perampok. Dari kejadian tersebut maka timbullah awal mulanya gong Kyai Pradah di sebut juga gong Macan.
              Tahun 1780 M, Ki Eyang Tariman meninggal dunia dan Gong tersebut di bawa oleh Mbok Rondo Dadapan. Pada tahun 1812 M Mbok Rondo Dadapan meninggal dan gong tersebut di titipkan kepada Ki Ageng Seco Wonotirto yang merupakan orang sakti zaman dahulu, menurut mitos beliau ini merupakan murid dari Pangeran Diponegoro. Gong Kyai Pradah ini kemudian diturunkan lagi sampai beberapa juru kunci hingga saat ini. Dari situ cerita Pangeran Prabu hilang dan tidak diketahui. Menurut buku history of Java Pangeran Prabu diculik oleh Belanda dan di buang ke Sailon atau yang sekarang bernama Babilonia bersama para pejuang lainnya. Menurut versi lain Pangeran Prabu menghilang atau Nestapa (meleburkan badan). Begitupun makam Ki Eyang Tariman dan Mbok Rondo Dadapan hingga kini tidak diketahui keberadaannya.

Mitos-Mitos Gong Kyai Pradah

              Pada tahun 1970 ada seorang Wedono (pangkatnya di atas Camat) yang tidak mempercayai adanya siraman gong Kyai Pradah, sehingga beliau memerintahkan untuk tidak memandikan gong tersebut. Pada 12 Maulud siang, di rumah-rumah penduduk sekitar alun-alun Lodoyo mulai terdengar suara gemuruh raungan harimau , sehingga para penduduk sangat ketakutan hingga tidak berani keluar rumah untuk melakukan aktifitas seperti biasanya, hal tersebut terjadi selama 2 hari, akhirnya sang Wedono ini pun kemudian meminta maaf kepada leluhur yang ada di daerah itu,  dan  siraman gong Kyai Pradah pun di laksanaka. Setelah jam 7 malam, akhirnya raungan harimau yang terdengar dari rumah-rumah penduduk di sekitar alun-alun pun menghilang.
                Pada tahun 1985 pernah ada suatu kejadian di alun- alun Lodoyo tersebut digunakan untuk tempat minum-minuman keras, dan berjudi oleh beberapa orang. Sehingga pada jam 1 malam para penduduk mendengar suara raungan harimau, dan hingga pada shubuh pagi ada seseorang yang melihat seekor macan berkeliaran di sekitar pasar Lodoyo. Bisa dikatakan bahwa kemungkinan besar penjaga gong Kyai Pradah tidak terima tempatnya digunakan untuk maksiat.
                Mitos lain mengatakan bahwa kain putih yang digunakan untuk membungkus gong Kyai Pradah jika terbawa atau memang sengaja di bawa oleh seseorang, maka orang tersebut akan kebal terhadap peluru. Namun jika hal tersebut disalah gunakan oleh seseorang maka orang tersebut akan menerima akibat dari perbuatannya.
               Mitos yang berkembang dan umum dibicarakan oleh masyarakat adalah air bekas siraman gong Kyai Pradah dapat memberikan efek awet muda, namun seperti yang telah disampaikan di atas dalam sejarah gong Kyai Pradah dan memang dikatakan oleh pangeran Prabu, air bekas siraman gong Kyai Pradah ini dapat menyembuhkan penyakit, dapat menentramkan masyarakat, serta dapat merujukkan suami istri yang berpisah.
             
SUMBER : Juru Kunci ke-21 Bapak As'adi.


Berikut ini gambar terkait dengan Gong Kyai Pradah, Kami tidak menampilkan gambar Gongnya dikarenakan selain pada saat pemandian tidak diperbolehkan mengakses foto gong Kyai Pradah.
Sanggar Gong Kyai Pradah
Tempat Penempatan Gong Kyai Pradah
Tempat Siraman Gong Kyai Pradah


Bapak As'adi (Juru Kunci) bersama Pewawancara
Proses Wawancara di dalam Sanggar Gong Kyai Pradah

Juru Kunci bersama Mahasiswa UNU Blitar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Cerpen

PEMAHAMAN PARENTING BERDASARKAN PENGALAMAN